Mesin Pencarian

Senin, 05 Januari 2009

Penemuan Naskah Laut Mati Berusia 2200 Tahun

‘The Dead Sea Scrools: Menggoncang atau Mendukung Kekristenan?’ Demikian tema seminar yang diselenggarakan Paguyuban Amin – Surabaya Sabtu, 6 Oktober. Tema ini sangat menghebohkan, mengingat penemuan manuskrip yang berusia 2200 tahun bisa jadi mempertanyakan sejarahkan kekristenan selama ini?

Sekilas Sejarah Penemuaan

Pada tahun 1947, Muhammad el-Dib, seorang gembala Beduin dari suku Ta’famire, menemukan naskah-naskah gulungan yang tersimpan di tempayan-tempayan kuno di gua-gua Qumran.

Naskah-naskah itu kemudian dijualnya kepada Kando, seorang pedagang barang-barang antik di Yerusalem, yang akhirnya dimiliki oleh Prof. Eliezer Sukenik, guru besar Hebrew University dan Mar Yeshue Samuil, uskup Gereja Ortodoks Syria di Yerusalem.

Menurut penelitian palegrafi, yang kemudian dibenarkan oleh penelitian radio karbon (C-14), ternyata naskah-naskah itu berasal dari abad II sebelum Masehi.

Dan setelah diperiksa isinya, ternyata Kitab-Kitab Perjanjian Lama, dan beberapa dokumen sekte Eseni. Sekte Eseni berasal dari orang-orang Yahudi di Yerusalem yang mengungsi ke gua-gua Laut mati, karena mereka tidak puas dengan pengangkatan Yonathan sebagai Imam Besar Bait Allah di Yerusalem.

Pendiri sekte ini bergelar Guru Kebenaran, yang mulai masuk ke gua tahun 150 SM dan meninggal tahun 100 SM, lalu digantikan oleh para pengikut setianya, sampai tahun 68 M pemukiman Qumran dihancurkan oleh tentara Romawi.

Dari sebelas gua yang ditemukan di Qumran, ternyata sebagian besar adalah naskah-naskah Alkitab dalam bahasa asli Ibrani, tafsiran-tafsiran dalam bahasa Aramaik dan sebagian kecil dalam bahasa Yunani.

Metode Ilmiah Usia Manuskrip

Metode Paleografi adalah cara yang paling umum dikenal untuk menentukan usia suatu manuskrip atau naskah tulisan tangan, berdasarkan ciri-ciri aksara yang digunakan.

Seperti diketahui, bahwa setiap zaman mempunyai kebiasaan cara menuliskan aksara, bentuk-bentuk aksara tulisan tangan dari jaman kejaman selalu berbeda dan berubah-ubah.

Dua tokoh dalam menerapkan metode ini adalah Prof. Eliezer Sukenik dan Prof. Albright. Menilik bentuk aksaranya, Albrght dan Cross, muridnya, menyimpulkan naskah-naskah Qumran yang paling muda tidak lebih dari tahun 135M dan paling tua berasal dari abad II SM ( antara tahun 225 – 200 SM ).

Kesimpulan ini akhrinya juga dibenarkan dengan temuan surat-surat Bar Kohba di wadi maraba’at, sedangkan Bar Kohba adalah pemimpin Israel yang memberontak kepada Roma tahun 132-135 M.

Metode C-14 ini ditemukan oleh seorang ahli atom, caranya dengan menghitung zat radio arang aktif (C-14) yang ada pada suatu naskah dari kulit, papyrus, kayu dan tembikar.

Dari besaran jumlah C-14 yang terdapat pada bahan yang diteliti, dapatlayh ditentukan usia bahan tersebut. Melalui metode ini, para arkeolog yang bekerja di Qumran, juga berhasil mengukur C-14 pada tembikar sisa dan sisa kain yang ditemukan di Qumran, dimana kain yang paling tua berasal dari sekitar tahun 167 SM.

Selanjutnya manuskrip Nabi Yesaya yang lebarnya 3 cm dan panjangnya 131 cm diperkirakan berasal dari tahun 150 SM.

Bukti Pemeliharaan Firman Ilahi

‘Jadi dengan temuan penting ini kita memiliki manuskrip yang 1000 tahun lebih tua dari Manuskrip Masora (Alkitab Perjanjian Lama terkuno yang kita miliki berasal dari abad IX-X M). Setelah diselidiki dengan teliti antara dua naskah tersebut, tidak ada perbedaan yang cukup berarti’, jeals Bambang Noersena.

Sebelum ditemukan naskah-naskah laut Mati, manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Lama yang kita miliki semua berasal dari akhir abad IX dan awal abad X M. Manuskrip itu dikenal sebagai Manuskrip masoterik, yaitu Manuskrip Geniza dari Cairo, Manuskrip Allepo dari Syria dan Manuskrip Leningrad dari Rusia.

Dengan penemuan The Dead Sea Scrolls, yang berasal dari abad II SM, berarti kini kita mempunyai manuskrip yang 1200 tahun lebih tua atau berusia 2200 tahun dari zaman kita.

Kaum Masoretik memegang pemeliharaan Kitab Suci sejak tahun 500 – 1000 M, yang sebelumnya dipegang kaum Seferim. Kalau kaum Seferim zaman Yesus sampai menghitung jumlah huruf-huruf Kitab Suci, dalam menjaga keaslian firman-firman ilahi kaum Masoretik lebih teliti lagi.

Misalnya, kalau dalam penyalinan Alkitab ia meragu-ragukan ketepatan bacaan ayat tertentu, mereka tidak berani menggantinya. Mereka hanya mencantumkan kode ‘K’ (Ketiv = tertulis) di samping bacaan yang diragukan dan pada bawah halaman Kitab mereka mengusulkan bacaannya yang benar di bawah kode ‘Q’ (Qere = bacaan). Maklumlah, bahasa Ibrani kuno tidak mempunyai huruf hidup.

Contoh seperti itu, misalnya ada dalam Yes 21:8 dan Yer 31:40. Para ahli Taurat meragukan bacaan Hash Sharemot, karena memang kata itu tidak ada artinya dalam bahasa Ibrani, tetapi toh mereka tidak berani mengubahnya begitu saja.

Mereka hanya mengusulkan bacaannya yang benar ghash shademoth (artinya: padang-padang). ‘Perhatikan!’, kata Noorsena, sambil menunjuk salinan fotograph manuskrip Qumran dan menunjuk Yeremia 1:40, ‘We kal hash shademot ead nahal Qidronc’ (dan segenap tanah datar ditepi sungai Kidron).

Dengan penemuan Qumran, bacaan para ahli Taurat itu ternyata tepat. Jadi, teks-teks Qumran sering kali menjelaskan ayat-ayat yang bacaannya kurang jelas dalam teks-teks yang lebih muda.

Kasus semacam ini, dalam manuskrip Yesaya di Qumran, yang tertulis di atas papyrus dengan panjang 171 cm dan lebar 31 cm, hanya terdapat kira-kira 15 kali.

Perbedaan kecil dalam rincian huruf dan cara baca itu, sama sekali tidak mengubah makna firman-firman Tuhan.

Semua penemuan itu membuktikan bahwa sepanjang zaman Allah selalu menjaga firman-firmanNya sehingga bersih dari segala usaha pemalsuan dan perubahan. Meskipun ada perbedaan-perbedaan kecil tetapi itu tidak sama sekali tidak mengubah makna pesan kitab Suci.

Milik orang Kristen Dan Yahudi

Para ahli mengakui bahwa mushaf-mushaf dari Laut Mati ini banyak sekali memperjelas teks-teks masora yang kurang jelas.

Pada jamanNya, Yesus Kristus tidak menyangkal reputasi ahli-ahli Taurat dan imam-imam Farisi karena keseksamaan mereka dalam kegiatan pemeliharaan Kitab-Kitab suci, sehingga mereka disebut ‘telah menduduki kursi Musa’.

Walaupun demikian Yesus mengecam kemunafikkan mereka seraya menuntuk kita agar menurut ajaran mereka, tetapi jangan mengikuti perbuatan mereka. Pengajaran mereka bisa diterima, tetapi perbuatan mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka ajarkan (Mat 23:1-4).

Bagaimanapun juga, bahas Ibrani yang digunakan di Israel modern itu, pada dasarnya sama dengan bahasa Ibrani yang dipakai nabi-nabi jaman dahulu.

Misalnya Musa, Daud atau Salomo muncul kembali ke bumi ini lagi. Kata seorang rekan Yahudi kepada Bambang Noorsena, pasti orang Israel sekarang dapat dengan mudah berkomunikasi dengan mereka.

‘Ini terbukti, ketika rekapan itu saya minta membacakan huruf-huruf Ibrani kuno tanpa tanda baca dari manuskrip (tulisan tangan) Kitab Habakuk yang disimpan di museum itu, dengan lancar dia membacanya, seperti layaknya membaca koran saja,’ katanya.

Luar biasanya, hasil penelitian seksama atas teks-teks Alkitab yang berjarak lebih dari 1000 tahun tersebut, ternyata tidak ada pemalsuan apapun. Kemujizatan penemuan Qumran, tidak hanya milik orang Kristen, tetapi juga umat Yahudi. Sekalipun Yahudi dan Kristen sudah berpisah selama 2000 tahun, tetapi kedua agama tetap memegang teguh kitab suci yang satu dan sama.

Perbedaan tafsir antara kedua agama, tidak membuat umat Yahudi atau umat Kristen saling memalsukan firman-firman Ilahi itu di dalamnya.

Sumber Tabloit Gloria Edisi 374, Minggu ke IV Oktober 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar